teks berjalan

Welcome To On The Way Blog

Selasa, 15 November 2011

CONTOH RESENSI CERPEN


RESENSI CERPEN



NAMA        : Dewi Agustiyani Gadis R.
NOMOR     : 11
KELAS       : XI- IPA 1

SMA NEGERI 4 SURAKARTA
TAHUN PELAJARAN 2011/2012
Kata pengantar
Atas berkat rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan penulisan resensi cerpen Hujan, Senja ,dan Cinta karya Seno Gumira Ajidarma. Resensi ini disusun untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia yang diberikan oleh guru dengan mata pelajaran yang bersangkutan. Bukan hanya itu, penulis juga berharap bahwa resensi cerpen ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yaitu agar lebih memahami isi dari cerpen dan mendapat sedikit gambaran mengenai cerpen tersebut.
Materi-materi dalam cerpen ini mencakup identitas darimana cerpen ini berasal, tujuan menulis resensi, sinopsis dari cerpen yang mancakup unsur intrinsik dan ekstrisiknya, kelemahan dan kelebihan cerpen, serta manfaat bagi yang membaca cerpen. Materi ini dapat membantu pembaca cerpen dalam membaca cerpen diatas. Selain itu penulis juga menyajikan keseluruhan dari cerpen Hujan, Senja ,dan Cinta karya Seno Gumira Ajidarma.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan resensi tersebut. Saran dan kritik yang membangun dengan terbuka penulis terima untuk meningkatkan kualitas resensi.

Surakarta, September 2011
Penulis


RESENSI CERPEN
Cerpen ini diambil dari http://sukab.wordpress.com/2008/05/04/hujan-senja-dan-cinta/. Cerpen ini pertama kali dipublikasikan di harian Kompas, 13 Agustus 2001. Cerpen Hujan, Senja, dan Cinta ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma. Cerpen ini juga dimuat dalam Kumpulan Cerpen Karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama berkolaborasi dengan Eddy Suhardy sebagai penulis Bahasa Tempo Dulu dan Mansyur Mas’ud sebagai Pegrafis Cukilan Kayu. Cetakan I buku ini diterbitkan tahun 2002. Hujan, Senja, dan Cinta merupakan cerpen yang ke-7 dari buku ini.
            Tujuan penulis meresensi cerpen ini adalah agar pembaca bisa mempermudah  memahami makna dari cerpen ini. Lebih bisa menimbang penilaian tentang cerpen ini. Dapat menjadi referensi untuk lebih mempelajari cerpen dan membantu mencari pesan yang terkandung dalam cerpen sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma yang lain cerpen ini mengangkat suatu tema yang tidak asing bagi kawula muda yaitu Cinta dan Kesetiaan. Disini pengarang menulis dengan sudut pandang orang ketiga sebagai pelaku utama dengan tokoh Ia sebagai kata ganti lelaki dan Dia sebagai kata ganti perempuan yang merupakan tokoh utama dalam cerpen tersebut. Ada juga tokoh pembantu dia, suami dia, teman kerja dia, istri ia. Dalam cerpen ini Ia digambarkan sebagai sosok yang berusaha untuk setia dan sangat memcintai kekasihnya, sedangkan tokoh Dia adalah orang yang kurang memahami arti cinta dan kesetiaan dalam suatu hubungan, masih terlalu labil dalam menanggapi suatu hubungan, dan plin-plan dalam memberikan keputusan. Sedang alur yang digunakan adalah alur maju.
Cerpen ini menceritakan tentang ia yang sangat mencintai dia. Dia sangat menyukai hujan maka ia mengirim hujan untuknya. Pada awalnya dia sangat menyukai hujan yang dikirim oleh kekasihnya itu, maka dia selalu menikmati setiap hujan yang dikirim untuknya. Hujan itu selalu mengikutinya kemanapun dia pergi. Bahkan, orang-orang disekitarnya sangat heran karena kejadian itu. Hujan itu dikirim atas nama cinta pacarnya untuk perempuan itu. Tapi, lama-kelamaan dia merasa bosan selalu diikuti dengan hujan. Dia kerepotan karena hujan. Ia dan Dia bertemu. Dia meminta ia mencabut hujan yang dikirimkan untuknya. Ia berkata bahwa itu tidak bisa selama ia masih mencintai dia. Dia marah dan menyuruh ia untuk berhenti mencintainya. Ia menyalahkan dia yang cintanya memudar. Terjadi perkelahian antara dia dan ia walaupun begitu mereka tetap bahagia. Namun hubungan mereka tidak tertolong. Sejak kejadian itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Suami dia menyindir dia dan istri ia menasihati ia untuk melupakan dia. Ia memang ingin melupakan dia namun terlalu banyak kenangan tentang dia. Sampai suatu saat dia bertemu dengan ia kembali di suatu senja. Mereka menikmati senja di Jakarta bersama-sama sambil mengobrol. Pagi berikutnya dia melihat hujan yang selalu mengikutinya dan mengamati tidak selebat dulu. Saat dia mengukur ke laboratorium dia kecewa dengan hasilnya karena menunjukkan cinta mulai berkurang. Dia mencari-cari ia. Namun semuanya terlambat. Senja itu pula hujan yang selama ini mengikutinya berhenti. Akhirnya dia melihat senja diluar dia ingin mengirimkan senja itu untuk ia sebagai tanda dia masih mencintainya, tapi dia menyadari bahwa senja itu bukanlah miliknya.
Dalam cerpen ini tokoh mengalami konflik batin. Majas yang digunakan adalah personifikasi terbukti dari hujan yang diibaratkan sebagai bentuk cinta dari tokoh ia terhadap pasangannya. Tempat-tempat yang digunakan yaitu rumah dia, rumah ia, di tengah kemacetan Jakarta, di jalan. Waktu digambarkan dalam siang, malam, pagi, dan senja. Suasana yang dipakai seperti dingin karena hujan yang selalu turun setiap saat, tegang dan menggembirakan saat mereka bertemu dalam pertengkaran, sedih ketika cinta mulai memudar, ramai ketika bertemu terakhir kalinya dan suasana roman ketika pengungkapan rasa cinta ia kepada dia maupun sebaliknya. Ada nilai yang diangkat dalam cerpen ini yaitu nilai sosial. Dari cerpen ini pesan yang dapat kita petik adalah berusaha setia dan merawat cinta pada pasangan kita memang cinta adalah abadi namun jika kita tidak setia dan merawat cinta itu maka akhirnya akan layu juga. Satu lagi, jangan sia-siakan orang yang mencintaimu sebelum terlambat dan menyesal.
Seno Gumira Ajidarma sebagai penulis cerpen ini telah banyak membuat cerpen yang serupa dengan kesan romantis. Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston pada tanggal 19 Juni 1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Puisinya yang pertama dimuat dalam rubrik "Puisi Lugu" majalah Aktuil asuhan Remy Silado, cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional, dan esainya yang pertama, tentang teater, dimuat di surat kabar Kedaulatan Rakyat. Seno kemudian mendirikan "pabrik tulisan" yang menerbitkan buku-buku puisi dan menjadi penyelenggara acara-acara kebudayaan.Pada tahun yang sama Seno mulai bekerja sebagai wartawan lepas pada surat kabar Merdeka. Tidak lama kemudian, ia menerbitkan majalah kampus yang bernama Cikini dan majalah film yang bernama Sinema Indonesia. Setelah itu, ia juga menerbitkan mingguan Zaman, dan terakhir ikut menerbitkan (kembali) majalah berita Jakarta-Jakarta pada tahun 1985. Pekerjaan sebagai wartawan dijalani Seno sambil tetap menulis cerpen dan esai.Selama menganggur, Seno kembali ke kampus, yang ketika itu telah menjadi Fakultas Televisi dan Film, Institut Kesenian Jakarta. Ia menamatkan studinya dua tahun kemudian. Setelah sempat diperbantukan di tabloid Citra, pada akhir tahun 1993 Seno kembali diminta memimpin majalah Jakarta-Jakarta, yang telah berubah menjadi majalah hiburan. Hingga kini Seno telah menerbitkan belasan buku yang terdiri kumpulan sajak, kumpulan cerpen, kumpulan esai, novel, dan karya nonfiksi.Atas prestasinya di bidang penulisan cerita pendek, Seno Gumira Ajidarma mendapat penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim (ARH) untuk cerpennya Kejadian (1977), dari majalah Zaman untuk cerpennya Dunia Gorda (1980) dan Cermin (1980, dari harian Kompas untuk cerpennya Midnight Express (1990) dan Pelajaran Mengarang (1993), dan dari harian Sinar Harapan untuk cerpennya Segitiga Emas (1991). Selain itu, Seno juga memperoleh Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk kumpulan cerpen Saksi Mata (1995) dan Penghargaan South East Asia (S.E.A.) Write Award untuk kumpulan cerpen Dilarang Mennyanyi di Kamar Mandi (1997).
Kelebihan dari cerpen Hujan, Senja, dan Cinta sendiri adalah dalam segi pemilihan kata-katanya yang romantis membuat pembaca terhanyut dalam suasana tersebut. Imajinasinya yang liar terhadap pelukisan tokoh ia dan dia membuat kesan unik dari cerpen. Ada juga penerangan akan kata ganti yang digunakan di dalam cerita ini sehingga memudahkan pembaca untuk lebih memahami. Penggunaan hujan, senja, dan cinta yang menjadi satu paket menguak sebuah perasaan serta ingatan yang selalu bertaut satu sama lain juga menimbulkan perasaan yang dalam dan nostalgis. Cerita yang diangkat realistis ketika overdosis sampai muak dibuat oleh cinta, tapi ketika memudar tersayat-sayat sedikit-sedikit karena kehilangan dan seiring waktu berjalan hati akan pulih kembali karena ada cinta yang hakiki dari Sang Pemilik.
Adapun kelemahan dari cerpen ini adalah ceritanya yang sedikit rumit dan tokoh suami dia dan istri ia yang membingungkan. Mengapa mereka tidak marah melihat pasangan masing-masing tidak setia dan dalam cerpen inipun mereka tidak terlalu banyak disinggung. Walaupun begitu cerpen ini merupakan cerpen yang menarik banyak yang mengacungkan jempol untuk cerita ini.
Cerpen ini adalah cerpen bernuansa remaja sehingga dapat dibaca oleh anak-anak diusia remaja. Semoga cerpen ini bisa menjadi cermin dalam kehidupan yaitu bahwa tidak selamanya cinta itu abadi, maka perlu untuk dirawat dan dijaga. Kesetiaan adalah kunci dari setiap hubungan apapun bentuknya terutama dalam urusan cinta. Bila memang kita harus kehilangan cinta janganlah berputus asa karena masih ada cinta yang abadi dari Tuhan.



Hujan, Senja, dan Cinta
Oleh: Seno Gumira Ajidarma
Karena ia mencintai dia, dan dia menyukai hujan, maka ia menciptakan hujan untuk dia .1
Begitulah hujan itu turun dari langit bagaikan tirai kelabu yang lembut dengan suara yang menyejukkan. Dia sudah tahu saja darimana hujan itu datang. Duduk di depan jendela, diusapnya kaca jendela yang berembun. Jari-jari-nya yang mungil mengikuti aliran air yang menurun perlahan di kaca itu.
”Hujan, o hujan …” Dia berbisik.
Dia begitu berbahagia menyadari cinta kekasihnya yang begitu besar, sehingga menjelma hujan yang selalu dirindukannya. Dia tahu betapa ia selalu memberikan yang terbaik untuk dirinya. Dia terharu dengan cinta yang membuat segala benda dan peristiwa menjadi bermakna. Dia memandang keluar jendela, menembus tirai kelabu, melewati desau pohon-pohon bambu yang basah dan berkilat dalam hujan dan angin, mengirimkan getaran cinta yang melesat sepanjang langit menuju kekasihnya di balik kabut. Kilat berkeredap dan guntur menggelegar diatas gunung dalam pertemuan cinta yang panas dan membara.
Hujan itu tidak pernah meninggalkan dia lagi. Hujan itu selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi. Kemanapun dia datang, datang pula hujan ke tempat itu. Sambil menyetir, dari dalam mobil selalu diusapnya kaca jendela. Dingin hujan itu dirasakannya sebagai dekapan hangat kekasihnya. Cinta itu abstrak, pikirnya selalu, sepasang kekasih tidak usah selalu bertemu, selalu berciuman, dan selalu bergumul untuk mempersatukan diri mereka. Cinta membuat sepasang kekasih saling memikirkan dan saling merindukan, menciptakan getaran cinta yang merayapi partikel udara, melucur dan melaju ke tujuan yang sama dalam denyutan semesta. Dari milan, dari Kyoto, dari Jakarta…
Terkadang dibukanya jendela mobil, ditadahinya air hujan dengan tangannya, lantas direguknya. Begitulah caranya cinta meresap kedalam tubuh, menjadi bagian dari alam. Meskipun bukan musim hujan, selalu ada hujan yang turun hanya untuk dirinya. Bila dia keluar  rumah, lenyap pula hujan. Hujan itu mengikuti mobilnya sepanjang jalan.




 

1. Dalam cerita ini, ia adalah kataganti orang ketiga lelaki, dan dia adalah kata ganti orang ketiga perempuan.

Sepanjang jalan yang dilaluinya menjadi basah karena hujan, dan hanya jalan yang dilaluinya saja menjadi basah dan sejuk sebentar karena hujan yang turun ke bumi mengikuti dia atas nama cinta.
”Heran,” kata pembantu rumah tangga di rumahnya, ”setiap kali ibu pergi, hujan berhenti, kalau ibu datang, hujan lagi.”
”Heran,” kata kawan-kawannya, ”belakangan ini, asal kamu datang pasti hujan, kamu pergi hujan hilang. Padahal bukan musim hujan.”
Suaminya, yang selalu peka terhadap suasana hati istrinya, menadahi air hujan itu, dan membawanya ke laboratorium.
”Ah, ini hujan karena cinta,” katanya kemudian, ”siapa lagi yang jatuh cinta kali ini?”
Dia terkesiap dalam hati. Tapi wajahnya dingin saja.
”Tidak ada apa-apa. Kenapa sih?”
”Kamu kira bisa menutupi perasaanmu yang berbunga-bunga?”
Dia diam saja. Memang hatinya berbunga-bunga.
Diluar hujan masih saja menderas. Air hujan menganak sungai disela-sela rumput, dedaunan basah dan bergoyang-goyang. Tanpa diketahui suaminya dia mengusap seluruh embun disetiap kaca jendela rumah dengan kedua telapak tangannya, lantas membasuh wajahnya. Tubuhnya bergetar dan jiwanya menangis karena terharu. Hujan yang sangat disukainya tak pernah lenyap lagi dari hidupnya. Kekasihnya yang tak terlihat telah mengirimkannya dari jauh atas nama cinta, hanya untuk dirinya saja.
”Hujan, o hujan” desahnya sembari memandang keluar jendela setiap malam.
***
Kemudian tibalah saat ketika cinta diantara dia dan ia memudar. Sebarapa lama sih umur cinta? Hujan yang semula mewakili perasaan cinta yang dahsyat itu sekarang terasa sangat menganggu.
”Cinta kita sudah berakhir, kenapa hujan itu masih saja mengikuti aku ke mana-mana? Lihat  semua orang jadi terganggu. Setiap keluar mobil aku harus pakai payung. Jalan-jalan di halaman rumah sendiri harus pakai jas hujan. Gimana dong?  Kasihan tamu-tamuku. Dimana-mana asal orang berurusan denganku menjadi kehujanan dan basah. Bisa nggak kamu tarik hujanmu ini?”
”Mana bisa? Hujan itu akan selalu ada selama aku masih mencintai kamu.”
”Kamu kira aku senang dicintai kamu? Nggak usah cinta-cintaan lagilah. Tarik hujanmu ini.”
”Sudah kubilang, selama aku mencintai kamu, tidak bisa.”
”Kalau begitu jangan mencintai aku. Bikin repot saja.”
”Bukan salahku. Siapa yang cintanya memudar? Dulu minta-minta dikasih hujan, sekarang omongannya begitu.”
”Bukan salahku aku tidak mencintai kamu lagi. Cewek seabreg begitu. Mana kutahu kamu tetap setia?”
”Aku tetap setia. Menyentuh pun aku tidak pernah.”
”Bukan itu ukuran kesetiaan”
”Apa dong?”
”Sudah kubilang cinta itu abstrak.”
”Tidak.”
”Menurut kamu?”
”Cinta itu konkret.”
”Buktinya?”
”Hujan itu.”
Ia dan dia betengkar sampai malam sambil minum bir plethok. Aneh sekali. Mereka bahagia dalam pertengkaran itu. Barangkali karena mabuk.
”Setidaknya kita masih punya perasaan,” meraka merumuskan setengah mabuk.
Namun hubungan mereka tidak tertolong. Semenjak pertemuan terakhir itu, ia dan dia tidak pernah berjumpa lagi. Meskipun begitu hujan itu tetap mengiringi dia. Perempuan itu selalu bisa melihatnya dari balik jendela loteng, dimana dia mengalihkan cintanya melalu e-mail ke seluruh dunia.
”Masih cinta juga tuh si doi sama istri macam kamu?” suaminya menyindir.
Dia tak pernah menjawab. Tapi dia tahu jika ia masih mencintainya.
***
Sulit sekali bagi ia untuk tidak mencintai dia. Selama itu pula ia tidak mampu menarik kembali hujan cintanya yang menderas dari langit.
”Pikirkan saja istri kamu,” kata istrinya yang menangkap kegelisahan suaminya,  ”jangan istri orang lain jadi beban pikiran.”
Ia tak pernah menjawab, karena tidak ada yang bisa dijelaskan. Setiap kali ia melewati jalan layang yang terlihat dimana sepetak hujan itu berada, tapi ia sudah tidak menghendaki perjumpaan macam apapun. Hatinya hancur berantakan seperti keramik jatuh ke landasan dari pesawat kargo yang sedang take off. Dengan kesal dihapusnya nomor-nomor telepon dia dari hand-phone, namun ini hanya membuat ia semakin kesal, karena toh masih hafal juga. Terlalu banyak hal dari dia telah meresap kedalam dirinya dan tak mungkin dihapus untuk selama-lamanya. Gambar-gambar, foto-foto, kata-kata. Waktu meninggalkan jejak, begitu pula saat-saat yang dilaluinya bersama dia. Segenap makna perjumpaanya meresap kedalam hatinya dan ia tidak bisa melupakan dia. Ia tak bisa lagi memandang segala sesuatu didunia ini seperti sebelum berjumpa dengan dia, ia tak bisa lagi berpikir di luar cara berpikir seperti dia. Mereka telah berpisah, tapi tidak terpisahkan. Begitukah caranya cinta berada? Pikirnya. Tapi setiap kali berpikir ia teringat dia. Maka ia berusaha berhenti berpikir. Ia marah sekali dengan cinta.
”Taik kucing dengan cinta,” umpatnya dalam hati.
Namun pada suatu senja yang gemilang, cinta jualah yang menyelamatkanya, ketika seorang dia yang lain muncul kembali dari balik kenangan yang sudah terhapus. Dia tidak berkata apa-apa, seperti kutipan sebuah saja: Tidak ada janji | pada pantai.
Ia pun tahu, tak ada janji pada perjumpaan yang manapun – tapi janji-janji memang tidak diperlukannya, karena janji sebuah cinta yang paling mebara sekalipun hanyalah janji suatu senja yang terindah. Kecuali di negeri senja, adakah senja yang tidak berakhir?
”Kuberikan segalanya untukmu,” katanya kepada dia, ”kuberikan cintaku, jiwaku, hidupku, apa saja yang kau mau.”
Dia hanya tersenyum menghela napas, memandang senja yang dipantulkan kaca-kaca gedung bertingkat.
”Lihatlah senja di kaca gedung itu,” kata ia kepada dia.
”Kenapa?”
”Bila engkau melewati jalan ini, senja itu masih akan berada disana, selama-lamanya.”
”Bisa?”
”Bisa sekali, selama engkau masih mencintaiku.”
”Aku tidak pernah mengatakan apa-apa kepadamu.”
”Tidak perlu. Senja itu sudah mengatakannya.”
Dia melihat langit senja yang menjadi abadi di kaca-kaca gedung bertingkat itu. Dia tahu betapa sulitnya melihat matahari tenggelam di Jakarta. Tapi kini ia telah mengabadikan senja ke kaca-kaca gedung bertingkat untuk dirinya saja. Dia bahagia sekali, namun tidak bisa berkata apa-apa. Ia pun tidak berkata apa-apa.

Mereka berdua menatap langit, kubah senja yang merah membara bagaikan sebuah impian yang menjanjikan bahwa Negeri Senja memang betul-betul ada. Tapi langit yang semburat kemerah-merahan itu hanyalah sebuah janji yang sebaliknya. Setiap detik terjadi perubahan warna, dari merah yang membara sampai memancar keemas-emasan ketika matahari mestinya telah terbenam.
 

2. Dari sajak Goenawan Mohamad, pada sebuah pantai: interlude(1973)

Mereka tak bisa melihat matahari di balik gedung. Senja yang keemasan-emasan itu kemudian dengan pasti menggelap, semakin gelap, dan menjadi malam. Bagi mereka yang terbiasa mengamati senja, akan selalu tahu bahwa senja belum betul-betul berakhir ketika matahari terbenam, dan senja masih juga berbisiki-bisik ketika langit jadi gelap dan permukaan air laut yang tadinya berwarna emas seolah-olah mendadak lenyap, tinggal kecipak suara lidah ombak. Pada saat seperti itu, sebuah renungan telah mencapai kesimpulannya.
Namun mereka tidak berada di pantai. Mereka di tengah kemacetan jakarta yang tidak memberi peluang untuk kalimat yang – seperti kutipan sebuah sajak–-bisa berlarat-larat .3
”Mengapa kita tidak mencari bir plethok,” ujar perempuan itu.
Ia mengangguk. Ia berkesimpulan, banyak perempuan Jakarta suka bir plethok.
***
Dia memandang keluar jendela lagi pagi itu. Sudah beberapa minggu ini diperhatikannya hujan itu berubah, dulunya lumayan deras, sekarang kederasannya lumayan berkurang, meski belum jadi gerimis.
”Apakah cintanya mulai berkurang?” pikirnya.
Kali ini dia sendiri yang menadahi air hujan itu dengan sebuah gelas, dan membawanya ke laboratorium.
Cinta mulai berkurang. Begitu tertulis dalam kertas laporan, dan dia merasa kecewa. Aneh, dia sendiri yang dahulu menolak hujan itu, dan sekarang ketika hujan itu menujukkan tanda-tanda mereda, dia merasa penasaran.
”Kenapa cintanya bisa berkurang? Cinta itu mestinya abadi dong!”
Dengan setengah panik dia memencet-mencet handphone, tapi tiada jawaban. Dia kirimkan sebuah lagu kelompok Queen melewati voice mail. Sebuah lagu yang menjerit:I Stil Love Youuuu! 5


Tapi semuanya sudah terlambat. Pada senja hari itu juga hujan yang selalu mengikuti kemana pun ia pergi berubah menjadi gerimis dan akhirnya berhenti sama sekali.
”Hujan, o hujan, kemana kamu hujan,” desahnya


 

3. Ibidem
4. Cocktail dengan unsure bird an tequila
5. Dari lagu Love of My Love dalam album Live Killers (Juli 1979) vocal oleh Freddy Merkuri (1946-1991)
Pada senja hari itu dia menatap keluar dari jendela lotengnya, dilihatnya langit yang kemerah-merahan. Langit begitu cerah. Hujan sudah berhenti. Dia tahu betapa ia menyukai langit senja yang kemerah-merahan seperti itu. Dia ingin mengirimkan senja itu kepadanya, sebagai tanda bahwa dia masih mencintainya – mungkin cintanya memang masih ada sedikit, mungkin agak banyak, mungkin pula hatinya tak pernah berubah sebetulnya, tak jelaslah. Saat itu, detik itu, dia ingin sekali.
Dia menatap langit senja di kejauhan sana, dan tahu itu bukan miliknya. Dia menghela napas dan berusaha mengatasi perasaanya.
 ”Mungkin aku terlalu sentimentil,” pikirnya.6

Pondok Aren, Minggu 30 Juli 2000.
























 

6. Sajak Pada sebuah Pantai: Interlude(1973) dimulai dengan: semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak sentimentil

2 komentar:

  1. Ini adalah resensi cerpen yang saya buat sendiri semoga dapat menjadi contoh bagi bingung dalam membuat resensi .........
    Resensi ini adalah pengalam terindah saya karena bisa mendapat nilai terbaik dalam satu kelas...
    hehehe,...

    BalasHapus